Motif Kelompok Yahudi Di Balik Penghargaan Toleransi Untuk SBY
DETIK ISLAMI NEWS - KAMIS, 30/5/2013 lalu mungkin menjadi sejarah tak terlupakan bagi Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden RI meraih penghargaan pertama kalinya dari The Appeal of Conscience Foundation (AFC). Lembaga yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan itu memberikan penghargaan Negarawan Dunia kepada SBY karena dinilai mampu membina toleransi beragama di Indonesia.
Namun menariknya, meski dinisbatkan sebagai Presiden yang dapat membina toleransi, penghargaan itu justru ditolak oleh kelompok-kelompok liberal dan minoritas yang selama ini concern menyuarakan ‘Toleransi Beragama’. Mereka menilai kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah dan Syiah yang sudah difatwa sesat masih sulit menjalan keyakinannya.
“SBY tidak pernah melindungi kelompok yang menjadi korban kekerasan seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah yang dicap sesat oleh kelompok aliran keras. Presiden SBY tidak melakukan dan mengatakan apa-apa untuk melindungi mereka,” jelas Franz Magnis Suseno dalam surat protesnya kepada ACF.
Senada dengan Franz Magnis, penghargaan World Statement Award untuk Presiden SBY juga digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dan Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Sobat KBB).
Koalisi ini terdiri dari para tokoh agama, aktivis, dan tokoh masyarakat, di antaranya Romo Benny Soesatyo (Pemuka Agama Kristiani), Jalaluddin Rachmat (Tokoh Syiah) Siti Musdah Mulia (Feminis), Hendardi (Setara Institute), Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum), Alissa Wahid (Ketua Wahid Institute), Adnan Buyung Nasution (Praktisi Hukum), dan lain sebagainya.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam pernyataan resminya mengatakan tampaknya ACF tidak mengetahui kondisi Tanah Air yang penuh tragedi diskriminasi dan kekerasan.
“Indonesia tengah mendapat ancaman dengan hadirnya kelompok berpandangan sempit dan ekstrim. Jumlahnya memang tidak seberapa tapi pembiaran atas kelakuan mereka membuat mereka jadi kebal hukum,” kata Hendardi di Jakarta, Kamis (23/5).
Tentu melihat realitas ini, umat Islam harus jeli. Bahwa penolakan kelompok liberal di Indonesia kepada penghargaan toleransi untuk SBY, bukan berarti lembaga ACF bersih dari unsur-unsur liberal dan pluralis.
ACF sendiri didirikan oleh seorang Yahudi tulen bernama Rabbi Arthur Schneier. Pada tahun 1965. Lembaga ini bergerak dalam bidang HAM, kebebasan dan kerukunan antar umat beragama, menggagas kerjasama antarapimpinan umat beragama, penguasa, dan pengusaha di dalam mempromosikan perdamaian, toleransi, dan resolusi berbagai konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi. Menurut ACF,‘tindakan kriminal atas nama agama merupakan bentuk kejahatan paling bertentangan dengan agama’ (a crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion).
Pasca kejadian 11 Septemberdi AS, ACF mengunggulkan sejumlah tokoh yang dinilai berjasa meredam kekerasan dan ‘terorisme’ dan menggalang ‘toleransi’ dan ‘perdamaian’.
ACF mengutus delegasinya kepada tidak kurang dari 30 negara berjumpa dengan tokoh-tokoh agama dan pemerintah setempat. Di antara negara-negara tersebut ialah Albania, Argentina, Armenia, Bulgaria, RRC, Cuba, Republim Czech, El Salvador, Jerman, Hungaria, India, Indonesia, Irlandia, Jepang, Marocco, Panama, Polandia, Romania, Rusia, Republik Slovakia, Switzerland, Spanyol, Turki, Ukraina, Inggris, negara-negara bekas Yugoslavia.
Rabbi Arthur Schneier, pendiri dan sekaligus Presiden ACF mempunyai reputasi internasional dan dikenal luas sebagai tokoh dialog antar agama sebagaimana propaganda Yahudi selama ini. Ia dilahirkan di Vienna, Austria, tgl 20 Maret 1930, pernah hidup di bawah pendudukan Nazi Budapest selama Perang Dunia II, kemudian ia hijrah ke AS tahun 1947. Tahun lalu sebuah Polling memasukkan namanya salah seorang di antara 100 tokoh berpengaruh di AS.
Rangking Rabbi Yahudi inipun lebih tinggi daripada Presiden Obama dalam polling itu. Pendiri dan sekaligus Presiden ACF beranggotakan tidak kurang dari 40 tokoh dari berbagai agama. Tidak sedikit dari mereka berpaham liberal dan pluralis yang dikenal luas dalam dunia internasional, antara lain Muhtar Kent dan Imam Yahya Hendi yang sehari-hari sebagai Professor Islamic Studies di Georgetown University AS, yang bulan Desember lalu datang ke Indonesia bersama lima Rabbi, empat pendeta, dua pastor, dua muslim termasuk dirinya.
Nama-nama besar lainnya seperti Cardinal Theodore E. McCarrick, Wakil Presiden ACF, di AS pernah menjadi Uskup Agung di Washington, Pastor Joseph A. O’Hare, S.J, juga Wakil Presiden ACF, mantan Presiden Jesuit Fordham University, Cardinal Dr. Christoph Schönborn (Uskup Agung Wina dan pernah diunggulkan menjadi Paus dan juga pernah mengunjungi Indonesia, dan Pastor Daniel L. Flaherty, S.J, yang memimpin America
Tentu dengan reputasi ACF selama ini, kita sangat faham apa maksud pemberian penghargaan ini kepada SBY. Mereka ingin mendorong ‘toleransi beragama’ di Indonesia untuk terus ditingkatkan. Dengan melihat psikologis SBY yang gampak takluk dengan pencitraan, maka program-program untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme agama di Indonesia dapat berjalan lebih baik lagi.
Dalam dua tahun kepemimpinan SBY kelompok-kelompok aliran sesat tumbuh subur. Hingga kini meski mendapat penolakan dari umat Islam, Ahmadiyah masih boleh beraktivitas di Indonesia. Bahkan SBY urung untuk mengeluarkan Kepres pembubaran Ahmadiyah.
Yayasan-yayasan Syiah pun tumbuh subur di Indonesia. Bandingkan dengan nasib kelompok Ahlussunnah di Iran. Mereka tertindas dan tidak boleh memiliki Mesjid sendiri. Di Indonesia, kelompok Syiah bebas berkeliaran. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan secara massal dan tidak ditutup-tutupi. Bahkan sebuah lembaga Syiah di Bandung secara terbuka merekrut relawan Jihad Syiah ke Suriah.
Sama halnya dengan geliat Kristen di Indonesia. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berang di depan 700 ratus pendeta. Dalam sesi tanya jawab ada yang seorang pastor yang bertanya tentang nasib gereja di Yasmin (GKI Yasmin- red.) yang terkatung-katung di Bogor. Kelompok Kristen juga telah membawa kasus ini ke HAM internasional.
Melihat protes dari kalangan Kristen mengenai GKI Yasmin, Jusuf Kalla balik protes “Anda ini sudah punya 56.000 gereja seluruh Indonesia tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih, pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini anda sampai bicara ke seluruh dunia?”
Data Litbang Kemenag menunjukkan pertumbuhan rumah ibadah selama 27 tahun terakhir dipegang oleh Gereja Kristen. Mesjid/mushalah (64,22%), Gereja Kristen (131,30%), Gereja Katolik 152,00%), Wihara Budha (268,09%), dan Pura Hindu (475,25%).
Agak ironi, Islam sebagai agama mayoritas mutlak dianut di negeri ini bukan hanya pertumbuhannya anjlok tetapi juga paling banyak tercekal pembangunannya.Data dari Biro Pusat Statistik (2000-2010) menunjukkan terjadinya penurunan prosentase populasi penganut agama Islam dari 87.91% menjadi 87.21% dan pertambahan populasi penganut agama Kristen dari 5.73% menjadi 6.96%.
Jadi anda mulai faham apa motif di balik penghargaan ini?
Source : http://islampos.com/motif-kelompok-yahudi-di-balik-penghargaan-toleransi-untuk-sby-62042/
Namun menariknya, meski dinisbatkan sebagai Presiden yang dapat membina toleransi, penghargaan itu justru ditolak oleh kelompok-kelompok liberal dan minoritas yang selama ini concern menyuarakan ‘Toleransi Beragama’. Mereka menilai kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah dan Syiah yang sudah difatwa sesat masih sulit menjalan keyakinannya.
“SBY tidak pernah melindungi kelompok yang menjadi korban kekerasan seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah yang dicap sesat oleh kelompok aliran keras. Presiden SBY tidak melakukan dan mengatakan apa-apa untuk melindungi mereka,” jelas Franz Magnis Suseno dalam surat protesnya kepada ACF.
Senada dengan Franz Magnis, penghargaan World Statement Award untuk Presiden SBY juga digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dan Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Sobat KBB).
Koalisi ini terdiri dari para tokoh agama, aktivis, dan tokoh masyarakat, di antaranya Romo Benny Soesatyo (Pemuka Agama Kristiani), Jalaluddin Rachmat (Tokoh Syiah) Siti Musdah Mulia (Feminis), Hendardi (Setara Institute), Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum), Alissa Wahid (Ketua Wahid Institute), Adnan Buyung Nasution (Praktisi Hukum), dan lain sebagainya.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam pernyataan resminya mengatakan tampaknya ACF tidak mengetahui kondisi Tanah Air yang penuh tragedi diskriminasi dan kekerasan.
“Indonesia tengah mendapat ancaman dengan hadirnya kelompok berpandangan sempit dan ekstrim. Jumlahnya memang tidak seberapa tapi pembiaran atas kelakuan mereka membuat mereka jadi kebal hukum,” kata Hendardi di Jakarta, Kamis (23/5).
Tentu melihat realitas ini, umat Islam harus jeli. Bahwa penolakan kelompok liberal di Indonesia kepada penghargaan toleransi untuk SBY, bukan berarti lembaga ACF bersih dari unsur-unsur liberal dan pluralis.
ACF sendiri didirikan oleh seorang Yahudi tulen bernama Rabbi Arthur Schneier. Pada tahun 1965. Lembaga ini bergerak dalam bidang HAM, kebebasan dan kerukunan antar umat beragama, menggagas kerjasama antarapimpinan umat beragama, penguasa, dan pengusaha di dalam mempromosikan perdamaian, toleransi, dan resolusi berbagai konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi. Menurut ACF,‘tindakan kriminal atas nama agama merupakan bentuk kejahatan paling bertentangan dengan agama’ (a crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion).
Pasca kejadian 11 Septemberdi AS, ACF mengunggulkan sejumlah tokoh yang dinilai berjasa meredam kekerasan dan ‘terorisme’ dan menggalang ‘toleransi’ dan ‘perdamaian’.
ACF mengutus delegasinya kepada tidak kurang dari 30 negara berjumpa dengan tokoh-tokoh agama dan pemerintah setempat. Di antara negara-negara tersebut ialah Albania, Argentina, Armenia, Bulgaria, RRC, Cuba, Republim Czech, El Salvador, Jerman, Hungaria, India, Indonesia, Irlandia, Jepang, Marocco, Panama, Polandia, Romania, Rusia, Republik Slovakia, Switzerland, Spanyol, Turki, Ukraina, Inggris, negara-negara bekas Yugoslavia.
Rabbi Arthur Schneier, pendiri dan sekaligus Presiden ACF mempunyai reputasi internasional dan dikenal luas sebagai tokoh dialog antar agama sebagaimana propaganda Yahudi selama ini. Ia dilahirkan di Vienna, Austria, tgl 20 Maret 1930, pernah hidup di bawah pendudukan Nazi Budapest selama Perang Dunia II, kemudian ia hijrah ke AS tahun 1947. Tahun lalu sebuah Polling memasukkan namanya salah seorang di antara 100 tokoh berpengaruh di AS.
Rangking Rabbi Yahudi inipun lebih tinggi daripada Presiden Obama dalam polling itu. Pendiri dan sekaligus Presiden ACF beranggotakan tidak kurang dari 40 tokoh dari berbagai agama. Tidak sedikit dari mereka berpaham liberal dan pluralis yang dikenal luas dalam dunia internasional, antara lain Muhtar Kent dan Imam Yahya Hendi yang sehari-hari sebagai Professor Islamic Studies di Georgetown University AS, yang bulan Desember lalu datang ke Indonesia bersama lima Rabbi, empat pendeta, dua pastor, dua muslim termasuk dirinya.
Nama-nama besar lainnya seperti Cardinal Theodore E. McCarrick, Wakil Presiden ACF, di AS pernah menjadi Uskup Agung di Washington, Pastor Joseph A. O’Hare, S.J, juga Wakil Presiden ACF, mantan Presiden Jesuit Fordham University, Cardinal Dr. Christoph Schönborn (Uskup Agung Wina dan pernah diunggulkan menjadi Paus dan juga pernah mengunjungi Indonesia, dan Pastor Daniel L. Flaherty, S.J, yang memimpin America
Tentu dengan reputasi ACF selama ini, kita sangat faham apa maksud pemberian penghargaan ini kepada SBY. Mereka ingin mendorong ‘toleransi beragama’ di Indonesia untuk terus ditingkatkan. Dengan melihat psikologis SBY yang gampak takluk dengan pencitraan, maka program-program untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme agama di Indonesia dapat berjalan lebih baik lagi.
Dalam dua tahun kepemimpinan SBY kelompok-kelompok aliran sesat tumbuh subur. Hingga kini meski mendapat penolakan dari umat Islam, Ahmadiyah masih boleh beraktivitas di Indonesia. Bahkan SBY urung untuk mengeluarkan Kepres pembubaran Ahmadiyah.
Yayasan-yayasan Syiah pun tumbuh subur di Indonesia. Bandingkan dengan nasib kelompok Ahlussunnah di Iran. Mereka tertindas dan tidak boleh memiliki Mesjid sendiri. Di Indonesia, kelompok Syiah bebas berkeliaran. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan secara massal dan tidak ditutup-tutupi. Bahkan sebuah lembaga Syiah di Bandung secara terbuka merekrut relawan Jihad Syiah ke Suriah.
Sama halnya dengan geliat Kristen di Indonesia. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berang di depan 700 ratus pendeta. Dalam sesi tanya jawab ada yang seorang pastor yang bertanya tentang nasib gereja di Yasmin (GKI Yasmin- red.) yang terkatung-katung di Bogor. Kelompok Kristen juga telah membawa kasus ini ke HAM internasional.
Melihat protes dari kalangan Kristen mengenai GKI Yasmin, Jusuf Kalla balik protes “Anda ini sudah punya 56.000 gereja seluruh Indonesia tidak ada masalah, seharusnya berterima kasih, pertumbuhan jumlah gereja lebih besar daripada masjid, kenapa urusan satu gereja ini anda sampai bicara ke seluruh dunia?”
Data Litbang Kemenag menunjukkan pertumbuhan rumah ibadah selama 27 tahun terakhir dipegang oleh Gereja Kristen. Mesjid/mushalah (64,22%), Gereja Kristen (131,30%), Gereja Katolik 152,00%), Wihara Budha (268,09%), dan Pura Hindu (475,25%).
Agak ironi, Islam sebagai agama mayoritas mutlak dianut di negeri ini bukan hanya pertumbuhannya anjlok tetapi juga paling banyak tercekal pembangunannya.Data dari Biro Pusat Statistik (2000-2010) menunjukkan terjadinya penurunan prosentase populasi penganut agama Islam dari 87.91% menjadi 87.21% dan pertambahan populasi penganut agama Kristen dari 5.73% menjadi 6.96%.
Jadi anda mulai faham apa motif di balik penghargaan ini?
Source : http://islampos.com/motif-kelompok-yahudi-di-balik-penghargaan-toleransi-untuk-sby-62042/
Comments
Post a Comment